Kamis, 22 Januari 2015

First Chapters Commentator "Ally : All These Lives"~Arleen A


Cerita dimulai dengan tragedi. Ally berusai 10 tahun saat pertama kali mengalami sebuah kejadian yang ia sebut Saat Ketidakberadaan. Ally yang merupakan anak tunggal sedang duduk di dapur saat itu, menunggui Mama yang sedang memasak kue kering cokelat, ketika ada sensasi gelitik yang aneh pada lengan dan wajahnya. Kemudian dunia menghilang, termasuk dirinya sendiri, tidak bisa melihat apa-apa, bahkan tidak ada kegelapan. Yang ada hanya pikiran Ally beserta kesadarannya. Ketika dunia kembali dalam hadapannya, dia sedang berada di tempat yang sama, duduk di dapur, menunggui Mama. Tapi kali ini tidak ada kue kering coklat beserta aromanya, melainkan sup tomat dan makaroni. Dan, di sebelahnya duduk anak laki-laki berambut merah bernama Albert yang kata Mama merupakan adiknya. Tentu fakta ini mengejutkan Ally, dalam pikirannya ia merupakan anak tunggal. Karena tidak adanya penjelasan dan jawaban yang memuaskan dari psikiater, orangtua Ally mulai menerima bahwa Ally lupa segala hal tentang adiknya.

“Namun bagaimana aku bisa melupakan sesuatu yang tadinya tidak ada sama sekali?” ~ hal 10.
         
          Ally memilih melanjutkan hidupnya dan menerima fakta bahwa ia memiliki Albert. Lagipula siapa yang dapat menolak Albert? Anak laki-laki berambut merah dengan senyum manis yang lebar. Tidak ada kakak yang dapat menolak Albert. Pun Ally, meski ia tidak dapat mengingat 5 tahun pertama kebersamaannya dengan Albert.
          Lalu Ketidakberadaan menimpa Ally lagi, yang saat itu duduk di bangku SMA. Apabila dahulu Ketidakberadaan menghadirkan Albert dalam hidupnya, kali ini ia merenggut Albert darinya. Nyatanya Albert sudah meninggal. Entah kapan dan bagaimana Ally tak mampu mengingatnya. Kali ini benak Ally terguncang, atas Saat Ketidakberadaan-nya yang menghadirkan dan merenggut seseorang dalam hidup Ally seenaknya.  

***

          Saya sangat, sangat antusias dengan novel karya Arleen A ini. Biasanya saya berusaha untuk mengosongkan ‘cangkir’ saya sebelum membaca, membersihkannya dari ekspetasi-ekspetasi dan penilaian apapun. Dengan begitu, saya bisa menerima apa yang ditawarkan penulis dalam karyanya dengan baik.
          Saya remaja berusia 17 tahun, dan untuk alasan itu, bacaan ini cocok untuk saya. Saya pikir tidak ada yang lebih baik daripada penilaian sebuah novel remaja dari kaum remaja itu sendiri. Kami remaja bosan dengan novel percintaan yang selalu berakhir bahagia, kami punya selera. Remaja juga memiliki mimpi dan kecemasan tentang kewarasan diri mereka sendiri.
Selama beberapa tahun pengalaman saya membaca, saya belum pernah menemui novel remaja dengan tema thriller psikologi (Saya dengan entengnya menyimpulkan bahwa ini adalah novel bergenre thriller psikologi ---__---). Saya pernah membaca novel “In The Miso Soup” karya Murakami. Kebanyakan novel thriller psikologi menggunakan hal-hal di luar pikiran tokoh utama untuk menciptakan efek terguncang. Namun berbeda dengan Ally : All These Lives ini.
Di halaman pertama, pembaca disuguhi dengan tragedy, yang merupakan langkah efektif untuk membuat pembaca penasaran dengan jalan cerita selanjutnya. Selama proses membaca selanjutnya, saya menikmati kata-kata yang diuntai oleh penulis dengan sederhana namun manis. Entah bagaimana, di beberapa titik saya merasa kehidupan Ally begitu sedih. Karakter Ally sebagai remaja sederhana dengan keluarga biasa membuat pembaca bisa dengan mudah memposisikan dirinya di posisi Ally, juga merasakan emosi-emosi Ally.
Latar cerita yang mengambil setting yang tidak nyata atau berdasar rekaan penulis juga turut membangun suasana yang dingin. Seperti, kehidupan Ally memiliki temboknya tersendiri, Ally hidup di dunianya sendiri nun jauh di sana. Namun dengan cara yang sama, seperti deskripsi tentang aroma kue coklat kering dan sup tomat membuat kehidupannya terasa dekat, intim.
Lalu bab 2 berakhir, saya terpaku di depan layar laptop. Cerita Ally tidak berhenti sampai di sini, saya berpikir. Terbayang-bayang, bagaimana kehidupan Ally selanjutnya? Apakah sebenarnya sesuatu yang ia sebut Saat Ketidakberadaan itu? Kenapa dan bagaimana Albert mati? Apakah Ally bisa hidup normal?  
Kebingungan, kesedihan Ally saat kehilangan Albert, bercampur teka-teki akan apa yang terjadi pada dirinya itu menghantui saya. Saya sempat berasumsi bahwa Ally mungkin menderita skizofernia, tapi saya kira itu tidak mungkin, sebab ia tidak kehilangan 5 tahun kehidupannya. Ia hanya lupa tentang Albert. Kemudian saya menebak kemungkinan Ally mengalami semacam trauma untuk hal-hal yang baru, namun lagi-lagi asumsi itu tidak memuaskan saya. Saya butuh membaca lanjutan kisah Ally, saya butuh mengetahui apa yang terjadi padanya, apakah Saat Ketidakberadaan itu. Saya butuh menyelesaikan kisah yang telah membuka rasa penasaran saya.
         Saya butuh. Benar-benar butuh. Apa perlu saya tekankan lagi? *Hehehe. 

***

Tidak ada komentar: