Jumat, 23 Januari 2015

{Review} A Walk To Remember (Kan Kukenang Selalu) ~ Nicholas Sparks

Gambar dari Goodreads.

Judul            :        A Walk To Remember (Kan Kukenang Selalu)
Penulis          :        Nicholas Sparkas
Penerbit        :        Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit  :       2002
Jumlah hal.   :       256 halaman

***
Pada tahun 1958, Beaufort di North Carolina, hidup remaja 17 tahun bernama Landon Carter yang badung. Ia beruntung dilahirkan dalam keluarga yang kaya. Meski orang-orang dalam silsilah keluarganya tidak memiliki reputasi yang baik. Apalagi kakeknya itu, yang selalu disinggung dalam khotbah gereja Hegbert Sullivan, pendeta di Beaufort. Ngomong-ngomong Landon lebih suka memanggil orang itu Hegbert, yang merupakan salah satu sasaran favorit kejahilannya semasa kecil. Gara-gara kakeknya dan kebadungannya (makan kacang di pemakaman bersama teman-temannya sambil mengobrolkan hal-hal aneh yang hanya dibicarakan anak laki-laki), reputasi Landon begitu buruk di mata Hegbert.
Awalnya itu bukan masalah. Penilaian Hegbert mengenai dirinya benar-benar tidak penting bagi Landon hingga akhirnya Landon jatuh cinta pada putri semata wayang Hegbert, Jamie Sullivan.
Jamie Sullivan, yang disukai orang-orang dewasa karena kesopanan dan kebaikan hatinya namun terlalu aneh bagi anak-anak di sekolahnya, entah dengan caranya sendiri membuat Landon mau mengikuti pementasan drama untuk natal. Jamie mampu membuat Landon yang badung itu ikut berpartisipasi dalam pengumpulan dana untuk anak-anak panti asuhan di kota mereka. Jamie membuat Landon mau berhadapan dengan Hegbert dengan penuh tata karma kali ini. Jamie membuat Landon berpikir ulang mengenai hidup dan tingkah lakunya selama ini. Singkatnya Jamie membuat Landon semakin dewasa.
Namun di saat Landon benar-benar mencintai Jamie, bagaimanakah perasaan Jamie terhadap Landon? Akankah cerita mereka direstui Hegbert? Akankah mereka berakhir bahagia?
***
Ini adalah novel karangan Nicholas Sparks yang pertama kali saya baca. Sebetulnya saya agak terlambat mendapatkannya. Pertama kali tahu novel ini dari penggalan-penggalan ceritanya yang tersisip di buku Bahasa Indonesia SMP kelas 7. Saat itu saya masih berumur 11 tahun, yang memungkinkan saya jatuh cinta dengan dialog-dialognya, toh saya masih  terbayang-bayang hingga ‘dewasa’ :p.
A Walk to Remember adalah novel remaja yang bagus untuk dinikmati sebab karakter-karakternya bisa dijadikan panutan layaknya Jamie. Jamie adalah gadis yang percaya diri tanpa polesan make up dan semprotan parfum, penampilannya sederhana. Ia tidak merasa perlu meladeni pendapat orang-orang tentang dirinya dan menghadapi segala sesuatu dengan caranya yang polos nan ajaib. Bahkan saya terkagum-kagum dengan sosoknya, padahal biasanya saya tidak suka karakter yang sangat sempurna. Namun kesempurnaan Jamie ini sebenarnya tampak dari luar saja, dalam beberapa dialognya dengan Landon, pembaca bisa mengetahui bahwa Jamie juga punya ketakutan, rasa sakit, bahkan terkadang Jamie ditampilkan sebagai wanita yang cerdik meski tetap polos dan anggun. Pembawaannya yang polos dan ceria itu sungguh seperti malaikat. Apalagi Jamie digambarkan sebagai gadis yang cukup religius.
Selain Jamie, saya juga suka tokoh Hegbert alias ayah Jamie. Di balik sikapnya pada Landon yang sedikit menyebalkan, bisa dibilang Hegbert ini adalah tokoh ayah idaman. Tidak sempurna, tapi penuh kasih sayang dan perlindungan. ^^
Perubahan sikap Landon pun terasa natural. Segalanya dibawakan dengan baik oleh penulis. Alurnya tidak bertele-tele, saya kesulitan mencari kekurangan dalam novel ini, selain ending-nya mungkin yang menurut saya bisa dieksekusi dengan lebih baik lagi. Karena seperti dalam prolog Landon, saya pun tersenyum saat mengawali membaca kisahnya, namun saya gagal menangis di akhir cerita. Dan saya tahu kenapa. Mungkin karena saya sudah 17 tahun dan kebal terhadap segala sesuatu yang mengharu biru.

3,5 bintang untuk Jamie Sullivan! 

Kamis, 22 Januari 2015

First Chapters Commentator "Ally : All These Lives"~Arleen A


Cerita dimulai dengan tragedi. Ally berusai 10 tahun saat pertama kali mengalami sebuah kejadian yang ia sebut Saat Ketidakberadaan. Ally yang merupakan anak tunggal sedang duduk di dapur saat itu, menunggui Mama yang sedang memasak kue kering cokelat, ketika ada sensasi gelitik yang aneh pada lengan dan wajahnya. Kemudian dunia menghilang, termasuk dirinya sendiri, tidak bisa melihat apa-apa, bahkan tidak ada kegelapan. Yang ada hanya pikiran Ally beserta kesadarannya. Ketika dunia kembali dalam hadapannya, dia sedang berada di tempat yang sama, duduk di dapur, menunggui Mama. Tapi kali ini tidak ada kue kering coklat beserta aromanya, melainkan sup tomat dan makaroni. Dan, di sebelahnya duduk anak laki-laki berambut merah bernama Albert yang kata Mama merupakan adiknya. Tentu fakta ini mengejutkan Ally, dalam pikirannya ia merupakan anak tunggal. Karena tidak adanya penjelasan dan jawaban yang memuaskan dari psikiater, orangtua Ally mulai menerima bahwa Ally lupa segala hal tentang adiknya.

“Namun bagaimana aku bisa melupakan sesuatu yang tadinya tidak ada sama sekali?” ~ hal 10.
         
          Ally memilih melanjutkan hidupnya dan menerima fakta bahwa ia memiliki Albert. Lagipula siapa yang dapat menolak Albert? Anak laki-laki berambut merah dengan senyum manis yang lebar. Tidak ada kakak yang dapat menolak Albert. Pun Ally, meski ia tidak dapat mengingat 5 tahun pertama kebersamaannya dengan Albert.
          Lalu Ketidakberadaan menimpa Ally lagi, yang saat itu duduk di bangku SMA. Apabila dahulu Ketidakberadaan menghadirkan Albert dalam hidupnya, kali ini ia merenggut Albert darinya. Nyatanya Albert sudah meninggal. Entah kapan dan bagaimana Ally tak mampu mengingatnya. Kali ini benak Ally terguncang, atas Saat Ketidakberadaan-nya yang menghadirkan dan merenggut seseorang dalam hidup Ally seenaknya.  

***

          Saya sangat, sangat antusias dengan novel karya Arleen A ini. Biasanya saya berusaha untuk mengosongkan ‘cangkir’ saya sebelum membaca, membersihkannya dari ekspetasi-ekspetasi dan penilaian apapun. Dengan begitu, saya bisa menerima apa yang ditawarkan penulis dalam karyanya dengan baik.
          Saya remaja berusia 17 tahun, dan untuk alasan itu, bacaan ini cocok untuk saya. Saya pikir tidak ada yang lebih baik daripada penilaian sebuah novel remaja dari kaum remaja itu sendiri. Kami remaja bosan dengan novel percintaan yang selalu berakhir bahagia, kami punya selera. Remaja juga memiliki mimpi dan kecemasan tentang kewarasan diri mereka sendiri.
Selama beberapa tahun pengalaman saya membaca, saya belum pernah menemui novel remaja dengan tema thriller psikologi (Saya dengan entengnya menyimpulkan bahwa ini adalah novel bergenre thriller psikologi ---__---). Saya pernah membaca novel “In The Miso Soup” karya Murakami. Kebanyakan novel thriller psikologi menggunakan hal-hal di luar pikiran tokoh utama untuk menciptakan efek terguncang. Namun berbeda dengan Ally : All These Lives ini.
Di halaman pertama, pembaca disuguhi dengan tragedy, yang merupakan langkah efektif untuk membuat pembaca penasaran dengan jalan cerita selanjutnya. Selama proses membaca selanjutnya, saya menikmati kata-kata yang diuntai oleh penulis dengan sederhana namun manis. Entah bagaimana, di beberapa titik saya merasa kehidupan Ally begitu sedih. Karakter Ally sebagai remaja sederhana dengan keluarga biasa membuat pembaca bisa dengan mudah memposisikan dirinya di posisi Ally, juga merasakan emosi-emosi Ally.
Latar cerita yang mengambil setting yang tidak nyata atau berdasar rekaan penulis juga turut membangun suasana yang dingin. Seperti, kehidupan Ally memiliki temboknya tersendiri, Ally hidup di dunianya sendiri nun jauh di sana. Namun dengan cara yang sama, seperti deskripsi tentang aroma kue coklat kering dan sup tomat membuat kehidupannya terasa dekat, intim.
Lalu bab 2 berakhir, saya terpaku di depan layar laptop. Cerita Ally tidak berhenti sampai di sini, saya berpikir. Terbayang-bayang, bagaimana kehidupan Ally selanjutnya? Apakah sebenarnya sesuatu yang ia sebut Saat Ketidakberadaan itu? Kenapa dan bagaimana Albert mati? Apakah Ally bisa hidup normal?  
Kebingungan, kesedihan Ally saat kehilangan Albert, bercampur teka-teki akan apa yang terjadi pada dirinya itu menghantui saya. Saya sempat berasumsi bahwa Ally mungkin menderita skizofernia, tapi saya kira itu tidak mungkin, sebab ia tidak kehilangan 5 tahun kehidupannya. Ia hanya lupa tentang Albert. Kemudian saya menebak kemungkinan Ally mengalami semacam trauma untuk hal-hal yang baru, namun lagi-lagi asumsi itu tidak memuaskan saya. Saya butuh membaca lanjutan kisah Ally, saya butuh mengetahui apa yang terjadi padanya, apakah Saat Ketidakberadaan itu. Saya butuh menyelesaikan kisah yang telah membuka rasa penasaran saya.
         Saya butuh. Benar-benar butuh. Apa perlu saya tekankan lagi? *Hehehe. 

***

Rabu, 07 Januari 2015

{Review} If I Stay ~ Gayle Forman


Lebih suka cover atas hehe :p


Judul : If I Stay
Penulis : Gayle Forman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2011
ISBN : 9789792266603
Jumlah halaman : 200 halaman

***

Saya pernah membayangkan tentang kematian. Semua orang pasti pernah. Mia Hall, gadis berusia 17 tahun (sama kayak aku hoho) pun pasti pernah. Tapi, pernahkah kau memikirkan apa yang akan kau lakukan apabila kau berada begitu dekat dengan kematian?
Mari melihat dengan lebih dekat.
Hidup Mia Hall tidak sempurna. Tapi dia punya Mum dan Dad, lalu adik kecilnya, Teddy yang selalu ada di sampingnya dan mendukung kecintaannya pada dunia musik. Mia memiliki Kim, sahabat karibnya yang bercita-cita sebagai fotografer. Terlepas dari konyolnya hal-hal yang mereka alami sebelum keduanya bersahabat, Kim selalu ada untuk Mia. Mereka memiliki satu sama lain. Berbeda, namun saling melengkapi. Lalu Adam, pacarnya yang main di band Shooting Star, yang mengenalkan warna-warna baru dalam hidup Mia.
Justru di saat ia hendak mengejar mimpinya, bersekolah di universitas musik terkenal di New York, satu insiden menyakitkan harus memutus impiannya itu. Mia dan keluarganya mengalami kecelakaan mobil di satu hari bersalju. Mum, Dad, dan Teddy meninggal dalam kecelakaan itu, kecuali Mia. Dia tidak benar-benar mati tapi juga tidak hidup, arwahnya melayang-layang di luar tubuhnya yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Seperti koma, begitulah.
Di saat dirinya menjadi satu-satunya yang tersisa dari keluarganya, Mia Arwah ini menyaksikan keluarganya : Gran dan Gramps, bibi, paman, sahabatnya Kim, serta pacarnya Adam bersedih menantinya kembali sadar. Orang-orang terdekatnya meminta Mia untuk tinggal, tetap berjuang, hidup, meski itu artinya Mia harus menjadi yatim piatu. Tapi bahkan Mia tidak tahu caranya untuk kembali bersatu dengan raganya. Kilasan-kilasan momen yang pernah Mia alami akhirnya muncul, dan momen-momen itu melibatkan orang-orang terdekatnya. Kini, ia dihadapkan pada pilihan sulit, untuk tetap tinggal atau pergi.
Pilihan. Kadang kau harus memilih. Termasuk Mia ini. Tapi bagaimana bila pilihanlah yang memilih Mia?
***
Sudah sejak lama saya tahu novel If I Stay ini baik dari Goodreads maupun dari blogger buku. Rata-rata mereka terharu dan sampai menangis membaca novel ini. Tapi entah bagaimana, kisah Mia ini tidak membuat saya tersentuh.
Di awal cerita, digambarkan keluarga Mia yang sempurna, Mia yang mahir bermain cello, Mia tipe gadis yang tidak populer di sekolah namun punya sahabat, Mia yang berpacaran dengan Adam yang juga punya talenta musik yang luar biasa juga.
Kehidupan Mia mulus, sempurna. Menurut saya. Dan saya kira, remaja-remaja 17 tahun lainnya akan menemukan kemiripan antara Mia dengan dirinya. Dengan kata lain, karakter Mia ini bisa ditemukan di kehidupan nyata (meskipun tidak dengan pacarnya). Dan penokohan Mia ini yang saya sukai dari novel ini. Innocent.
Tapi tetap ada hal-hal yang too good to be true seperti keluarganya yang sempurna ini lalu pacar yang sempurna juga. Entahlah :/ Im speechless. Sulit mengungkapkan mengapa saya tidak terlalu menyukai novel ini. Terlalu datar? Terlalu sempurna?
Meski gaya menulis Gayle Forman ini halus dan nikmat untuk dinikmati hingga kesetiap bagian-bagian terkecilnya. Alur Flashback yang digunakan berhasil, dengan begini setelah menye-menye membaca adegan di rumah sakit, pembaca disuguhi momen-momen manis dalam hidup Mia. Penulis juga berhasil membangun keluarga yang harmonis (hangat) dalam ceritanya.

Tentu, saya akan tetap membaca Where She Went. Tapi entah kapan (soalnya punya Where She Went yang bahasa inggris aja -_-). Tapi tetap saja, karena novel ini curang pada saya (dengan membuat orang lain menikmatinya hingga jatuh air mata, tapi tidak untuk saya), saya beri 3,5/5 bintang untuk Mia dan Adam, pasangan idaman! :p

***
Quotes yang kuambil dari Goodreads.
“Sometimes you make choices in life and sometimes choices make you.” 
“I realize now that dying is easy. Living is hard.”