Cerita
dimulai dengan tragedi. Ally berusai 10 tahun saat pertama kali mengalami
sebuah kejadian yang ia sebut Saat Ketidakberadaan. Ally yang merupakan anak tunggal
sedang duduk di dapur saat itu, menunggui Mama yang sedang memasak kue kering
cokelat, ketika ada sensasi gelitik yang aneh pada lengan dan wajahnya.
Kemudian dunia menghilang, termasuk dirinya sendiri, tidak bisa melihat apa-apa,
bahkan tidak ada kegelapan. Yang ada hanya pikiran Ally beserta kesadarannya.
Ketika dunia kembali dalam hadapannya, dia sedang berada di tempat yang sama,
duduk di dapur, menunggui Mama. Tapi kali ini tidak ada kue kering coklat
beserta aromanya, melainkan sup tomat dan makaroni. Dan, di sebelahnya duduk
anak laki-laki berambut merah bernama Albert yang kata Mama merupakan adiknya. Tentu
fakta ini mengejutkan Ally, dalam pikirannya ia merupakan anak tunggal. Karena
tidak adanya penjelasan dan jawaban yang memuaskan dari psikiater, orangtua Ally mulai menerima bahwa Ally lupa segala hal
tentang adiknya.
“Namun bagaimana aku bisa melupakan sesuatu
yang tadinya tidak ada sama sekali?” ~ hal 10.
Ally memilih melanjutkan hidupnya dan
menerima fakta bahwa ia memiliki Albert. Lagipula siapa yang dapat menolak
Albert? Anak laki-laki berambut merah dengan senyum manis yang lebar. Tidak ada
kakak yang dapat menolak Albert. Pun Ally, meski ia tidak dapat mengingat 5
tahun pertama kebersamaannya dengan Albert.
Lalu Ketidakberadaan menimpa Ally
lagi, yang saat itu duduk di bangku SMA. Apabila dahulu Ketidakberadaan
menghadirkan Albert dalam hidupnya, kali ini ia merenggut Albert darinya.
Nyatanya Albert sudah meninggal. Entah kapan dan bagaimana Ally tak mampu mengingatnya.
Kali ini benak Ally terguncang, atas Saat Ketidakberadaan-nya yang menghadirkan
dan merenggut seseorang dalam hidup Ally seenaknya.
***
Saya sangat, sangat antusias dengan
novel karya Arleen A ini. Biasanya saya berusaha untuk mengosongkan ‘cangkir’
saya sebelum membaca, membersihkannya dari ekspetasi-ekspetasi dan penilaian
apapun. Dengan begitu, saya bisa menerima apa yang ditawarkan penulis dalam
karyanya dengan baik.
Saya remaja berusia 17 tahun, dan
untuk alasan itu, bacaan ini cocok untuk saya. Saya pikir tidak ada yang lebih
baik daripada penilaian sebuah novel remaja dari kaum remaja itu sendiri. Kami
remaja bosan dengan novel percintaan yang selalu berakhir bahagia, kami punya
selera. Remaja juga memiliki mimpi dan kecemasan tentang kewarasan diri mereka
sendiri.
Selama beberapa tahun pengalaman saya
membaca, saya belum pernah menemui novel remaja dengan tema thriller psikologi (Saya dengan
entengnya menyimpulkan bahwa ini adalah novel bergenre thriller psikologi ---__---). Saya pernah
membaca novel “In The Miso Soup” karya Murakami. Kebanyakan novel thriller psikologi menggunakan hal-hal
di luar pikiran tokoh utama untuk menciptakan efek terguncang. Namun berbeda
dengan Ally : All These Lives ini.
Di halaman pertama, pembaca disuguhi
dengan tragedy, yang merupakan langkah efektif untuk membuat pembaca penasaran
dengan jalan cerita selanjutnya. Selama proses membaca selanjutnya, saya
menikmati kata-kata yang diuntai oleh penulis dengan sederhana namun manis.
Entah bagaimana, di beberapa titik saya merasa kehidupan Ally begitu sedih.
Karakter Ally sebagai remaja sederhana dengan keluarga biasa membuat pembaca
bisa dengan mudah memposisikan dirinya di posisi Ally, juga merasakan
emosi-emosi Ally.
Latar cerita yang mengambil setting yang tidak nyata atau berdasar
rekaan penulis juga turut membangun suasana yang dingin. Seperti, kehidupan
Ally memiliki temboknya tersendiri, Ally hidup di dunianya sendiri nun jauh di
sana. Namun dengan cara yang sama, seperti deskripsi tentang aroma kue coklat
kering dan sup tomat membuat kehidupannya terasa dekat, intim.
Lalu bab 2 berakhir, saya terpaku di
depan layar laptop. Cerita Ally tidak berhenti sampai di sini, saya berpikir. Terbayang-bayang,
bagaimana kehidupan Ally selanjutnya? Apakah sebenarnya sesuatu yang ia sebut Saat
Ketidakberadaan itu? Kenapa dan bagaimana Albert mati? Apakah Ally bisa hidup
normal?
Kebingungan, kesedihan Ally saat
kehilangan Albert, bercampur teka-teki akan apa yang terjadi pada dirinya itu
menghantui saya. Saya sempat berasumsi bahwa Ally mungkin menderita
skizofernia, tapi saya kira itu tidak mungkin, sebab ia tidak kehilangan 5
tahun kehidupannya. Ia hanya lupa tentang Albert. Kemudian saya menebak
kemungkinan Ally mengalami semacam trauma untuk hal-hal yang baru, namun
lagi-lagi asumsi itu tidak memuaskan saya. Saya butuh membaca lanjutan kisah
Ally, saya butuh mengetahui apa yang terjadi padanya, apakah Saat
Ketidakberadaan itu. Saya butuh menyelesaikan kisah yang telah membuka rasa penasaran
saya.
Saya butuh. Benar-benar butuh. Apa perlu saya tekankan
lagi? *Hehehe.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar